Oleh Ustadz Muslim Al Atsari
Salaf, artinya adalah orang-orang
terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah
ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
setelah mereka.
Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat
Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti
pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah,
perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam
bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi
pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat
Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib
mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.
Banyak
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban
mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis
masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.
Imam Ibnul Qoyyim
di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang
kewajiban mengikuti sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab
yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di
dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?,
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.
Sekedar untuk
memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami
ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban
mengikuti sahabat dalam beragama.
DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:
فَإِنْ
ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan
jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan
(dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah:137].
Nadhir
bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan
keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai
tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi
Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti
teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi
kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka
mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada
Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan
manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui
hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas
dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.. [Ali Imran:110].
Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah
telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini
berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala
keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang.
Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka
menyuruh kepada seluruh yang ma’ruf dan mencegah dari seluruh yang
munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka
merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza
Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ
مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu
(yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Pen.) saling berkaitan.
Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan
semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang
mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.”
Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
Pada saat ayat ini turun, belum ada
umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini.
Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para
sahabat Nabi.
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At
Taubah:100].
Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua
golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan
Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua,
orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.
Jika
demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib
mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di
atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan
mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para
sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!
Imam Ibnul Qoyim
rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti
sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti
mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang
mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang
mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak
mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata
dengan taqlid”. [2].
DALIL DARI AS SUNNAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik
manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian
orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian
orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in).
[Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau
secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam
seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].
Para
sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid
Rasulullah n . Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka
lebih memahami Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya
Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya
kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al
Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan
keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang
umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling
mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa
mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah
terhadap generasi setelahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk
bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum
muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya,
barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para
khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah
dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena
semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah
sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan
lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan
Sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk
mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan
hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar
menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para
khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun
tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai
sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang
difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian
mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi
ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka
tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang
sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap
seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’
Ar-Rosyidin”. [4].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ
بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي
النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya Bani
Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku
akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka,
kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan
(mengikuti) sahabatku.” [5].
Ketika menjelaskan hubungan hadits
ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali
berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti
mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya
sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam)
menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa
yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum“[6]
DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM
1.
Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang
menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang
yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan
kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.
Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
وَيْحَكُمْ
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ
نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ
ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ
أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ
Celaka kamu, wahai umat Muhammad.
Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah
masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan
bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya,
sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada
agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu
kesesatan. [HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al
Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].
Syaikh Salim Al
Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap
calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara
mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka.
Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana
anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi n telah mendahului
melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu
adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah
atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang
berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu
laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal: 100]
Abdullah bin
Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak
memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami
tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan
sahabatnya, Pen.)”. [7]
2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:
أَتَيْتُكُمْ
مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ,
فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ
أَحَدٌ
Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu
Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka
mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara
kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. [Riwayat
Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat
Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya
karya Syaikh Salim Al Hilali].
3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:
تَعَلَّمُوْا
اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ
عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ
تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ
وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَآءَ
Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya,
janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim
(jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke
kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan
yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu
ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian
antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal
Jama’ah, hlm. 34, no. 5].
4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:
كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ
Orang-orang
dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang
lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al
Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42,
no. 36].
5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:
اِصْبِرْ
نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ
بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ
سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ
Sabarkanlah
dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu
(Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka
katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para
pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa
yang telah melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad
Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm.
58; Limadza, hlm. 104].
Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i
rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak
dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu.
Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu
karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus
Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah
memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia
mensifati mereka dengan firmanNya.
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ
وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ
وَرِضْوَانًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].
6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:
آخُذُ
بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ
سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ
شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ
قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ
Aku berpegang kepada Kitab
Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka
aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku
berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan
berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan
perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan
keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat
Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi
‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im
Salim].
7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam
Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100,
surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]
8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:
مَا
كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى
مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ
يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ
Selama ada Al
Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah
mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak
ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka. [10].
9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:
عَلَى
أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ
أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ,
وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ…
Pokok-pokok Sunnah menurut kami
adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di
atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh
bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh
Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].
Demikianlah
penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum
Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran.
Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain
kebenaran kecuali kesesatan?
Mudah-mudahan Allah selalu membimbing
kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai
dengan pemahaman salaful ummah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296
_______
Footnote
[1]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[3]. I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[5].
Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah
bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul
Ummah, hlm. 24.
[6]. Limadza, hlm. 76.
[7]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[8]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[9]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[10].
Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35.
Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm.
36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh
Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق