السبت، 18 فبراير 2012

Ungkapan Cinta Untuk Puteri Tersayang..

Makkah al-Mukarramah,
12 Rabiul Awwal 1406 H.
Ali Thanthawi

Putriku tercinta! Aku adalah seorang laki-laki yang sudah beranjak ke usia lima puluh tahun.[3] Telah lewat sudah masa remaja, dan kutinggalkan impian-impian dan khayalan-khayalan. Berbagai negeri telah kukunjungi dan banyak orang kujumpai. Pahit getirnya dunia telah aku cicipi. Karena itu, dengarkanlah nasihat-nasihatku yang benar lagi jelas berdasarkan pengalaman-pengalamanku. Pasti belum pernah engkau mendengarkannya dari orang lain.

Melalui tulisan, kami selalu mengajak perlunya perbaikan moral, menghapus kerusakan dan mengalahkan hawa nafsu hingga pena tak lagi mampu menulis dan lidah menjadi kelu, namun kami tak menghasilkan apa-apa. Kemungkaran belum dapat kami berantas bahkan semakin bertambah, berbagai kerusakan merajalela, busana terbuka dan merangsang semakin trendi serta semakin marak. 'Wabah' ini berkembang dari satu negeri ke negeri yang lain, bahkan menurut dugaanku, tidak ada satu negeri Muslim pun yang selamat darinya. Di negeri-negeri kaum Muslimin sendiri yang dulu terdapat baju panjang yang sempurna dan kesungguhan dalam menjaga kehormatan dan aurat, kini para wanitanya keluar rumah dengan busana 'seksi' yang terbuka bagian lengan dan lehernya.

Kami belum berhasil dan saya kira tidak akan berhasil. Mau tahu sebabnya? Karena sampai saat ini, kami belum me-nemukan cara untuk memperbaikinya dan belum tahu jalannya. Sesungguhnya, jalan kebaikan itu ada di hadapan matamu, duhai putriku! Kuncinya berada di tanganmu. Bila engkau percaya kunci untuk masuk itu ada, lalu kalian mempergunakannya, maka pasti kondisinya akan menjadi baik.
Benar, yang lebih dulu memulai mengayunkan langkah menuju kubangan dosa adalah lelaki, bukan wanita! Hanya saja, bila engkau menolak, pasti laki-laki tidak akan berani. Andaikata bukan karena lemah gemulaimu,[4] laki-laki tidak akan bertambah nekad. Engkaulah yang membuka pintunya sedangkan dia hanya masuk. Seakan kau katakan kepada si pencuri, "Silahkan!" Lalu ketika ia telah mencuri, engkau berteriak, "Maling! Tolong ada maling! Saya kemalingan!"

Jika engkau telah menyadari bahwa laki-laki tersebut adalah srigala sedang dirimu adalah seekor domba, maka tentu engkau jauh-jauh hari sudah menghin-darinya sebagaimana domba yang menghindari srigala. Kalau engkau tahu bahwa laki-laki tersebut adalah pencuri, pasti engkau akan bersikap hati-hati seperti halnya si kikir yang takut hartanya dicuri.

Manakala srigala hanya menghendaki daging si domba, maka apa yang diingin-kan laki-laki darimu jauh lebih berharga dari sekedar daging domba itu. Bahkan, kematian kiranya lebih baik bagimu daripada harus kehilangan sesuatu yang paling berharga itu. Lelaki hanya mengingkan sesuatu yang paling berharga pada dirimu, yaitu kehormatanmu. Kehormatan adalah kebanggaan dan kemuliaan yang dengannya kamu hidup. Hidup bagi wanita yang telah terenggut kehormatannya adalah seratus kali lebih pahit daripada kematian seekor domba yang diterkam srigala.

Ya, demi Allah! Saat memandang seorang gadis, yang terlintas dalam khayalan seorang pemuda hanyalah kondisinya yang tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

Demi Allah, begitulah kenyataannya. Kami bersumpah untuk kedua kalinya di hadapanmu ini. Janganlah engkau pernah percaya manisnya tutur kata sebagian laki-laki, bahwa mereka tidak melirik seorang gadis melainkan hanya sekedar ingin mengetahui akhlak dan budi pekertinya saja; bahwa mereka berbicara kepadanya hanya sebagai seorang sahabat; bahwa mereka akan mencintainya sebagai seorang teman. Demi Allah, itu bohong! Andaikata engkau mendengar obrolan antar anak-anak muda dalam kesunyian mereka, tentulah engkau akan mendengarkan sesuatu yang mengerikan dan menakutkan.
Senyuman yang dilemparkan pemuda ke arahmu, kehalusan tutur kata dan perhatiannya terhadapmu; semua itu tidak lain hanyalah perangkap rayuan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Setidaknya rayuan itu adalah kesan tersendiri bagi si pemuda.

Tetapi, selanjutnya, apa yang kemudian akan terjadi, duhai putriku? Camkanlah dengan baik!
Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan, untuk kemudian engkau ditinggalkan begitu saja, dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan sesaat itu. Sementara pemuda itu akan terus mencari mangsa demi mangsa untuk direnggut kehormatannya. Sedang dirimu harus menang-gung beban kandungan yang membesar di perutmu. Jiwamu pasti merintih, keningmu kini telah tercoreng. Masyarakat nan zhalim dapat mengampuni pemuda itu dengan mengatakan, "Dulu ia pemuda yang sesat, tapi sekarang sudah bertaubat!" Tetapi bagaimana dengan dirimu? Selamanya engkau hidup berkubang kehinaan dan membawa aib. Masyarakat seakan tak dapat mengampuni perbuatanmu itu selamanya.

Andai saat bertemu pemuda itu, engkau berani menentang, membuang muka, menunjukkan jati dirimu dan menghindar, lalu bila si pengganggu itu belum juga mau mengindahkan bahkan sampai berbuat lancang melalui ucapan atau tangannya yang usil, maka lepaskan sepatu yang melekat di kakimu, lalu lemparkan ke kepalanya! Jika semua itu engkau lakukan, pasti semua orang di jalan akan membelamu. Setelah kejadian itu, tentu pemuda-pemuda iseng tidak akan berani lagi mengganggumu dan juga gadis-gadis selainmu. Tentunya, jika ia seorang pemuda yang baik, ia akan datang kepadamu untuk meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatannya. Bahkan, bisa jadi ia akan mengharapkan adanya hubungan yang baik dan halal denganmu, untuk kemudian akan datang melamarmu.

Betapa pun status, kekayaan, popularitas dan wibawa yang dicapai seorang wanita, maka ia tidak akan dapat menggapai angan-angan terbesar dan kebahagiaan selain dalam sebuah pernikahan. Yaitu kala menjadi isteri yang baik, seorang ibu yang terhormat dan pendidik bagi keluarga. Sama saja dalam hal itu, para ratu, para putri raja atau pun para artis film Hollywood kenamaan yang memiliki ketenaran dan citra yang dapat menipu banyak wanita.

Aku mengenal dua orang sastrawati besar dari dua negara Islam.
Keduanya adalah sastrawati sejati, memiliki harta kekayaan dan kejayaan sastra. Namun sayang, keduanya kehilangan suami, lalu akal sehat pun hilang dan akhirnya menjadi gila. Dalam hal ini, jangan pojokkan diriku dengan pertanyaan tentang siapa mereka sebab nama-nama itu sudah amat terkenal.

Pernikahan adalah cita-cita tertinggi seorang wanita, walaupun ia seorang anggota dewan dan pemegang kekuasaan. Tak ada seorang pun yang sudi menikah dengan wanita pelacur. Seorang laki-laki yang bermaksud menikahi wanita baik pun, bila mengetahui ternyata ia seorang yang sesat, maka akan pergi meninggalkannya pula. Kalau ingin menikah, maka ia akan memilih wanita yang baik, karena ia tidak rela bila kelak nyonya rumah tangga dan ibu bagi putra-putrinya adalah seorang wanita asusila.

Seorang laki-laki walaupun dia seorang fasik, germo, bila di pasar kelezatan tidak mendapatkan wanita yang rela menumpahkan kehormatannya di atas kedua kakinya atau yang dapat menjadi barang permainan di hadapannya, ataupun bila ia tidak juga mendapatkan wanita fasik atau wanita lalai yang mau menemaninya kawin berdasarkan agama Iblis dan syariat kucing di bulan Februari, maka pastilah ia meminta wanita yang menjadi isterinya itu menikah berdasarkan sunnah Islam.

Jadi, akar penyebab hilangnya minat terhadap ikatan pernikahan adalah kali-an, wahai kaum wanita! Bila bukan karena wanita fasik, tentu hilangnya minat pada ikatan pernikahan tidak akan terjadi dan peluang berbuat maksiat tidak akan terbuka lebar. Kenapa kalian tidak menyadari hal itu? Dan mengapa para wanita mulia tidak berupaya mencari penyelesaian bagi malapetaka ini? Kalian lah yang lebih pantas dan mampu daripada kaum laki-laki untuk melakukan upaya itu. Kalian lebih mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka, dan karena yang bisa menyelamatkan korban kerusakan ini hanya kalian, para wanita terpelihara, mulia, wanita yang terjaga dan beragama.[5]

Di setiap rumah di negeri kaum muslimin terdapat para gadis berusia siap nikah tetapi belum juga mendapatkan jodoh. Penyebabnya adalah kecenderungan para pemuda untuk memiliki 'pacar' sehingga tidak butuh kepada isteri. Tidak menutup kemungkinan, kondisi serupa juga terjadi di negeri-negeri lain.

Karena itu, kalian perlu membentuk organisasi-organisasi kewanitaan yang terdiri dari para sastrawati, para intelektual, para guru dan mahasiswi yang misinya mengembalikan saudari-saudari kalian yang salah jalan itu kepada kebenaran. Ajaklah mereka agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Jika menolak, takutilah mereka dengan memberikan peringatan bahwa apa yang mereka lakukan itu dapat menyebabkan datangnya penyakit. Jika masih membangkang, maka jelaskan kepada mereka dengan berkaca kepada realitas yang ada. Katakan kepada mereka, "Kalian adalah gadis-gadis remaja yang cantik. Karena itu, pasti kalian menjadi rebutan para pemuda. Akan tetapi, apakah masa remaja dan kecantikan itu akan kekal abadi? Adakah sesuatu di dunia ini yang akan kekal abadi? Bila nanti, kalian sudah menjadi nenek-nenek yang bungkuk punggungnya dan keriput wajahnya, ketika itu, siapa yang akan berminat lagi? Tahukah kalian, siapa yang akan memperhatikan, menghargai dan mencintai seorang nenek? Jawabannya, adalah anak-anak dan para cucunya. Saat itulah, sang nenek akan menjadi ratu di tengah rakyatnya. Duduk manis di atas singgasana mengenakan mahkota. Akan tetapi, bagaimana pula dengan nasib seorang nenek yang masih belum bersuami? Tentu, kalian sendiri lebih tahu apa yang terjadi dengannya!"

Di sebuah trotoar di persimpangan jalan di Brussel, aku menyaksikan seorang nenek tua yang berdiri menggunakan penyangga untuk kedua kakinya. Karena sudah dimakan usia, segenap tubuhnya gemetaran. Ia ingin menyeberang, namun hampir saja ia diserempet oleh mobil-mobil di sekelilingnya. Kasihan, tidak seorang pun yang mau mem-bimbingnya.
Kepada pemuda yang bersamaku, aku berkata, "Sebaiknya salah seorang dari kalian menghampiri nenek itu dan menolong-nya."
Waktu itu, kami bersama seorang teman lama bernama Ustadz Nadim Zhubyan. Sudah lebih dari 40 tahun ia tinggal di Brussel. Beliau bercerita kepadaku, "Tahukah anda bahwa nenek tua itu dulunya adalah wanita primadona di negeri ini yang banyak membuat orang terbuai? Para lelaki selalu menguntitnya dan dengan sepenuh hati rela merogoh kocek mereka hanya sekedar untuk dilirik atau disentuhnya. Tetapi setelah masa bunga berakhir dan kecantikan di wajah telah pupus, tak seorang pun yang anda lihat sudi menyentuh tangannya."

Sebandingkah kenikmatan itu dengan penderitaan yang dialaminya di atas? Akankah kita tukar akibat dari itu dengan kenikmatan sementara?

Perkataan-perkataan seperti ini bagi kalian para wanita, tidak memerlukan petunjuk orang lain dan kalian tidak akan kehabisan cara untuk memberi nasehat kepada saudari-saudari kalian yang salah jalan dan patut dikasihani. Jika kalian tidak dapat mengasihani mereka, minimal berusahalah untuk menjaga wanita baik-baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh agar tidak menempuh jalan yang salah itu.[6]

Aku tidak menuntut kalian untuk merubah secara drastis dan mengembalikan wanita masa kini kepada kondisi wanita Muslimah sejati. Tidak, kami menyadari bahwa perubahan secepat itu biasanya mustahil dilakukan. Kondisinya seperti antara malam yang gelap gulita dan pagi yang cerah bercahaya, di mana Allah Subhanahu wa ta'ala tidak memindahkan dari kegelapan kepada cahaya dalam sekejap. Tetapi, Dia memasukkan siang ke dalam malam tanpa engkau rasakan adanya perubahan itu. Sama seperti jarum jam yang engkau lihat diam tak bergerak. Padahal bila dirimu kembali dua jam kemudian, pasti ia telah bergeser. Demikian pula dengan perubahan manusia dari masa kanak-kanak ke masa remaja, dari masa remaja ke masa tua. Juga sama halnya dengan perubahan sebuah negeri, dari satu kondisi ke kondisi yang lain.

Akan tetapi kembalilah ke jalan kebaikan selangkah demi selangkah, sebagaimana ketika engkau menyongsong jalan keburukan setapak demi setapak. Kalian mulai dari memendekkan pakaian sedikit demi sedikit, kalian pertipis kerudung dan sabar melalui masa yang panjang. Kalian lakukan perubahan ini, sedangkan lelaki shalih tidak menyadari. Majalah-majalah porno menggalakkan masalah ini, orang-orang fasik riang gembira, sampai akhirnya kita mencapai suatu keadaan yang tidak diridhai Islam, bahkan tidak pula oleh agama lain. Juga tidak dilakukan oleh orang-orang Majusi para penyembah api yang berita mereka sudah kita baca di buku-buku sejarah. Bahkan hingga sampai pada suatu keadaan yang tidak dapat diterima para hewan.

Dua ekor ayam jago saja bila bertemu untuk memperebutkan sang betina, pasti saling serang karena rasa cemburu dan membela. Tetapi sungguh aneh dengan para lelaki Muslim yang tidak cemburu terhadap wanita Muslimah dilirik orang asing. [7] Bukan sekedar wajah yang dilirik, telapak tangan ataupun lehernya tetapi segalanya. Ya, segalanya selain sesuatu yang menjijikkan untuk dilihat dan harus ditutup, yaitu kemaluan dan buah dada.

Di klub-klub malam, suami-suami Muslim tega menyodorkan isteri-isteri mereka untuk diajak berdansa dan dipeluk lelaki lain. Dada menempel dengan dada, perut bertemu perut, bibir dengan pipi, lengan melingkar tubuh. Kendati demikian, tak ada seorang pun yang protes terhadap pemandangan itu. Di kampus-kampus Universitas Islam, mahasiswa Muslim biasa berdua-duaan dengan mahasiswi Muslimah yang tanpa menutup aurat. Anehnya, tak satu pun, orang-orang tua Muslim yang mengingkari hal tersebut. [8]

Pemandangan-pemandangan seperti itu banyak terjadi. Dan itu tidak dapat diatasi hanya dalam sehari atau dengan upaya yang tergesa-gesa. Tetapi caranya adalah dengan kembali ke jalan yang benar melalui jalan yang semula pernah kita tempuh ketika melakukan keburukan, walaupun jalan yang berat itu seka-rang amat panjang. Jalan kembali satu-satunya yang panjang ini harus ditempuh, sebab bila tidak, maka kita tidak akan sampai ke tujuan. Kita mulai dengan memberantas masalah ikhtilath (bercampur-baurnya laki-laki dan wanita dalam satu tempat tanpa hijab).

Seorang gadis tidak seharusnya bercampur baur dengan lelaki yang bukan mahramnya, seorang isteri juga tidak seharusnya menerima teman suaminya di rumah, menyapanya jika bertemu di kereta atau bertemu di jalan. Seorang gadis tidak seharusnya menjabat tangan pria di kampus, berbincang-bincang, berjalan seiring, belajar bersama untuk ujian, kemudian dia lupa bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikannya sebagai wanita dan si kawan sebagai pria, satu dengan yang lainnya dapat saling terangsang. Siapa pun, baik wanita, pria atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa ta'ala, menyamakan antara kedua jenis atau menghilangkan kecenderungan yang ada di dalam jiwa mereka.

Aku memiliki beberapa makalah tentang kesetaraan gender (kesamaan antara laki-laki dan wanita). Di situ aku berbicara tentang beberapa hak dan kewajiban, pahala dan siksa, tetapi aku tidak berbicara mengenai pekerjaan, fungsi dan tugas. Karena tidaklah mungkin seorang laki-laki itu akan hamil dan menyusui menggantikan para wanita, sementara wanita pun tidak mungkin berperang atau melakukan pekerjaan-pekerjaan berat menggantikan peran laki-laki.

Para propagandis 'egalitarianisme' (persamaan hak) dan ikhtilath yang mengatas-namakan 'civiel society' adalah para pembohong besar. Hal ini dapat dilihat dari dua aspek:
Pertama, karena semua itu mereka lakukan untuk memberikan kepuasan kepada diri mereka sendiri. Mereka menikmati pemandangan anggota tubuh yang terbuka itu dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi, mereka tidak berani berterus terang. Oleh karena itu, slogan-slogan seperti kemajuan, masyarakat madani, seni, kehidupan kampus, semangat olahraga dan slogan-slogan kosong tanpa makna lainnya itu hanyalah kedok belaka, ibarat gendang yang ditabuh.

Kedua, mereka bohong karena mengekor kepada Barat dan menjadikan Barat sebagai penyuluh. Mereka tidak dapat memahami kecuali menurut cara pandang Barat. Menurut mereka, kebenaran bukanlah lawan dari kebatilan. Tetapi kebenaran adalah segala sesuatu yang datang dari sana; Paris, London, Berlin dan New York, sekalipun yang dilaku-kan itu berupa dansa, pornografi, pergaulan bebas di kampus, pamer aurat di tempat umum atau telanjang ria di pantai (atau kolam renang). Sementara kebatilan menurut mereka adalah sesuatu yang datang dari sini; dari lembaga-lembaga pendidikan Islam di Timur dan dari masjid-masjid milik orang-orang Islam, sekalipun hal itu berupa kehormatan, petunjuk kebenaran, keterpeliharaan dan kesucian, baik kesucian hati maupun tubuh.

Di Eropa dan Amerika, Seperti yang sering kita baca dan dengar dari mereka yang pernah berkunjung ke sana ternyata masih terdapat banyak keluarga yang tidak rela dan tidak mengizinkan pergaulan bebas. Di Paris, misalnya, para bapak dan ibu melarang anak gadis mereka berjalan dengan seorang pemuda atau pergi bersama ke gedung bioskop. Bahkan mereka tidak diperbolehkan nonton, kecuali film-film yang sudah diketahui jalan ceritanya dan mereka tahu benar bahwa di dalam film-film itu, tidak ada adegan porno dan jorok. Yaitu, adegan-adegan yang sangat disayangkan, selalu ada dalam tayangan-tayangan yang dibuat perusahaan film di negeri kita untuk kalangan muda-mudi, yang mereka sebut sebagai seni perfilman, karena ketidakpahaman terhadap agama bahkan juga terhadap film itu sendiri.
Kata mereka, "Pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi, mendidik watak dan dapat menekan gejolak seksual di dalam jiwa."

Untuk menjawab hal ini, saya limpahkan kepada mereka yang telah lebih dulu pernah merasakan pergaulan bebas di sekolah-sekolah, yaitu orang Rusia yang tidak beragama, yang tidak pernah mendengar petuah ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini, setelah melihat bahwa hal ini amat merusak?

Tentang Amerika, apakah mereka belum membaca, bahwa problem Amerika, adalah semakin meningkatnya siswi-siswi yang hamil? Itu karena mereka mengajarkan pelajaran seks di sekolah-sekolah. Artinya, sama saja dengan menuangkan bensin ke dalam api. Kepada para gadis suci yang buta terhadap masalah seks, mereka jelaskan mengenai apa yang tersembunyi dari aurat laki-laki dan apa yang dilakukan laki-laki jika sedang berduaan dengan wanita. Pada saat yang sama, ada setan-setan dari jenis manusia yang mengajak kita agar melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Sebagaimana mereka juga membiasakan dan melatih para siswi sekolah-sekolah menengah untuk menggunakan pil pencegah kehamilan.

Siapa yang akan merasa senang apabila universitas-universitas di negeri-negeri kaum Muslimin mengalami persoalan yang sama?

Aku tidak berbicara kepada para pemuda. Aku tidak ingin mereka mendengar. Aku tahu bahwa mungkin mereka menyanggah dan menertawakan diriku. Karena aku telah menghalangi mereka menikmati kelezatan yang benar-benar telah mereka peroleh. Akan tetapi, aku berbicara kepada kalian, putri-putriku. Wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara! Ketahuilah bahwa yang akan menjadi korban bukan orang lain tetapi kamu sendiri. Oleh karena itu, jangan serahkan diri kalian sebagai korban iblis. Jangan dengarkan bujuk rayu mereka dengan dalih pergaulan demi kebebasan, modernisasi, kemajuan dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang-orang terkutuk itu tidak memiliki isteri dan anak. Mereka sama sekali tidak perduli dengan kalian, selain sebagai pemuas kenikmatan sementara. Sedangkan aku (penulis) adalah seorang ayah dari beberapa orang putri. Jika aku membela kalian, berarti aku membela putri-putriku sendiri. Aku ingin kalian bahagia seperti yang aku inginkan untuk putri-putriku.
Sesungguhnya dari perbuatan liar yang mereka lakukan, tak ada sesuatu pun yang dapat mengembalikan diri wanita kepada kehormatannya yang lenyap, kemuliaannya yang terkoyak, begitu juga dengan martabat yang hilang.

Jika seorang gadis telah terjerumus, maka tak seorang pun dari mereka yang mau meraih tangannya kembali atau menyelamatkannya dari keterjerumusan itu. Yang justeru mereka lakukan adalah memperebutkan kecantikan gadis itu selama masih tersisa kecantikan di wajahnya. Jika sudah hilang, mereka pun pergi meninggalkan gadis tersebut. Persis seperti anjing-anjing yang meninggalkan bangkai karena sudah tak menyisakan daging sedikit pun.

Inilah nasihatku buatmu, wahai putriku. Inilah kebenaran, selain ini jangan dipercaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah kunci pintu perbaikan itu, bukan di tangan kami kaum lelaki. Jika ada kemauan pada dirimu niscaya engkau sanggup memperbaiki dirimu sendiri, dengan demikian, umat secara keseluruhan akan menjadi baik.

MENGIKUTI MANHAJ SALAF DALAM SEMUA HAL

Oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan
Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Sala...f memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?
Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi’ah.
Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].
Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi’ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi’ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu.
Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu ‘alai...hi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla.
إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ
[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka - al Qamar/54 ayat 47-].
Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : “Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani”.
Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37].
Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]
Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shaf...wan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.

Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid’ah dalam pemikiran, di antaranya :

1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir.

2. Masalah dosa besar.

3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk.

4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya.

5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Inilah bid’ah-bid’ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah.

Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-
Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mere...ka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan.

Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat.
DALAM MASALAH IBADAH

Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah

Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tidak sebagaimana yang ...disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah).

Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim].
 lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus.
DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH

Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). D...i antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy’ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.

Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]
DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah.
Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksi...atan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan “majusinya” umat ini.

Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96]

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah :


تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]

Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46].

Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini.

1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.

Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.

2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya.

3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.

4. Allah menciptakan segala sesuatu.

Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.
DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID
Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat.
Pendapa...t Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah.

Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka.

Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a’nhuma.

Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.

Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.
DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A’ALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah.
Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (kelua...rga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu ‘anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a’nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu ‘anhu itu ilah (Tuhan).

Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait.

Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.

Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala.

Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

KEWAJIBAN MENGIKUTI PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH

Oleh Ustadz Muslim Al Atsari
Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.
Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.
Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.
Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.
Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama.

DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah:137].
Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. [Ali Imran:110].
Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka menyuruh kepada seluruh yang ma’ruf dan mencegah dari seluruh yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].
Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.
Jika demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!
Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid”. [2].

DALIL DARI AS SUNNAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].
Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah n . Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”. [4].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5].
Ketika menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum“[6]

DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.
Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ
Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].
Syaikh Salim Al Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi n telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal: 100]
Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”. [7]
2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:
أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ
Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. [Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali].
3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:
تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ
Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5].
4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:
كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ
Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36].
5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ
Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104].
Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya.
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].
6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:
آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ
Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]
8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:
مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ
Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka. [10].
9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:
عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ…
Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].
Demikianlah penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?
Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296
_______
Footnote
[1]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[3]. I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[5]. Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24.
[6]. Limadza, hlm. 76.
[7]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[8]. Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[9]. I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[10]. Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil








Obat Ketika Merindukannya

Tak bisa disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif.
Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan kami utarakan[1]. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]
Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]
Secara bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.
Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.
Jadi maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria) untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.
Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.
Banyak Memohon pada Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.
Memenej Pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]
Mujahid mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”[7] Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.
Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]
Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.
Lebih Giat Menyibukkan Diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]
Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[10]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[11]
Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Pangukan, Sleman, Kamis, 24 Dzulqo’dah 1430 H


[1] Kiat-kiat ini kami olah dari pembahasan Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283